Imam atau pastor adalah seorang pemimpin sekaligus pelayan ilahi. Dalam diri imam memiliki peran dan jabatan gerejawi yang dikuduskan. Hal itu menunjukkan diri seorang imam sebagai milik Allah yang memanggil untuk menjadi perantara kehadiran-Nya di dunia. Apabila mengambil sumber dari Kitab Suci seorang imam digambarkan sebagai pelayan untuk persembahan kurban yang menunjukkan suatu penghapusan dosa umat manusia.
Hal ini terutama digambarkan dalam kisah Perjanjian Lama. Seorang imam pada umumnya berasal dari keturunan orang-orang Lewi, terutama Harun serta anak-anaknya. Pengangkatan seorang imam dari orang-orang Lewi oleh Musa sebagai bagian dari tradisi imamat umum dari setiap kepala keluarga. Orang Lewi memiliki karakter yang begitu setia dengan perintah Tuhan. Berkat kesetiaan itu Allah mengangkat orang Lewi sebagai imam untuk menjalankan pelayanan dalam kemah suci dan Bait Suci-Nya (Bil. 3:12).
Salah satu tugas yang paling penting bagi imamat orang-orang Lewi adalah mempersembahkan kurban hewan demi pelunasan dosa. Dewasa ini seorang imam ialah mereka yang mengambil tiga tugas Kristus (tri munera Christi), diantaranya adalah menguduskan, memimpin, dan mengajar. Oleh karena itu, perlu untuk lebih menghidupi dan menghayati diri Kristus dalam diri setiap para imam melalui sakramen tahbisan.
Sebagai seorang imam juga perlu untuk menimba kesempurnaan hidup yang menghantar pada kesucian. Kesempurnaan hidup itu ditimba melalui masa formasi dan pendidikan di seminari. Seminari merupakan tempat tinggal para calon imam. Di dalam seminari para calon imam (seminaris) memulai masa pendidikannya dengan para formator sebagai pendamping dan pembina. Para formator itu sendiri adalah para imam diosesan maupun imam tarekat yang ditugaskan oleh uskup.

Tinggi St. Petrus – Paulus, Keusukupan Bogor
Tahap Pembinaan dan Pendidikan Sebagai Calon Imam Terkhusus di Seminari Tinggi Santo Petrus Paulus.
Seminari Menengah – Pada umumnya, seminari dibagi menjadi dua, seminari menengah dan seminari tinggi. Seminari menengah merupakan tahap pendidikan calon imam yang setaraf Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam seminari menengah juga dibagi dalam dua kategori, yakni Kelas Persiapan Pertama (KPP) dan Kelas Persiapan Atas (KPA).
Kategori KPP adalah kelas bagi mereka yang menjalani masa pendidikan dari SMA kelas 1 sampai kelas 3 dilanjut satu tahun kelas persiapan atas (KPA). Sedangkan KPA merupakan ketegori kelas bagi mereka yang sudah lulus SMA dan ingin melanjutkan ke seminari tinggi. Total dari masa KPP adalah empat tahun dan untuk KPA adalah dua tahun. Seminari menengah terletak di setiap keuskupan. Salah satu contoh, yakni Keuskupan Bogor memiliki Seminari Menengah Stella Maris yang berada di Parung.
Setelah lulus dari seminari menengah para calon imam melanjutkan masa pendidikan di biara maupun di seminari tinggi. Keduanya adalah hal yang sama namun memiliki karakteristik yang berbeda. Biara merupakan tempat tinggal bagi mereka yang memilih suatu komunitas tarekat, seperti OFM, OSC, SDB, dll. Sedangkan seminari tinggi merupakan tempat pembinaan calon imam diosesan. Pada tahap seminari tinggi ini calon imam menjalani tahap studi lanjut di bangku perkuliahan.
Tahun Orientasi Rohani – Pada tahun pertama dikenal dengan nama Tahun Orientasi Rohani bagi calon imam diosesan dan Novis bagi calon imam tarekat/kongregasi. Tahap ini biasa disebut sebagai Tahun Propaedeutika (propaedeutic stage). Karakteristik dalam tahap ini adalah fokus pada pendampingan dan pembinaan hidup rohani sehingga para formandi mampu mengalami proses penjernihan panggilan, pematangan kepribadian, mendapat pembekalan dasar-dasar hidup rohani, mengenal situasi masyarakat dan umat di suatu keuskupan tempat ia bertugas serta menjalani persiapan belajar lebih lanjut.
Pemimpin utama Tahun Orientasi Rohani disebut Direktur yang ditugaskan untuk bertanggung jawab dalam menjalankan pembinaan bagi Tahun Orientasi Rohani. Pada tahap ini para formandi selama setahun kiranya mampu mengolah aspek-aspek kepribadiannya, hidup rohani, mengolah hidup afeksinya, tanggung jawab ekologisnya dan hidup berkomunitas serta pengembanga hidup intelektualnya sebagai persiapan diri secara matang untuk memasuki tahap studi berikutnya.
Dengan kata lain dalam tahap ini seorang calon imam lebih mengutamakan pengolahan hidup kepribadiannya dan rohani agar semakin matang dan bertumbuh kembang dalam hidup spiritualitasnya. Tempat pembinaan Tahun Orientasi Rohani terpisah dari para formandi yang sedang menjalani pembinaan lanjut. Hal itu dikarenakan perlu adanya pembinaan secara khusus bagi mereka agar mampu untuk lebih mengolah hidup imamatnya kelak.
Tahun Skolastikat – Tahun skolastikat memiliki istilah discipleship stage atau philosophical studies. Pada tahap ini calon imam mempelajari filsafat dalam rangka pemuridan atau upaya menjadi seorang murid. Seorang murid tentu memiliki karakter yang kritis dan atraktif dalam mempertanyakan segala sesuatu di sekitar hidupnya melalui ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dengan mempelajari hal itu kiranya para calon imam mampu menjadi pribadi yang cinta akan kebenaran/kebijaksanaan, keadilan dan keindahan hidup.
Dari situ pula seorang calon imam akan semakin siap menjadi murid Kristus. Seorang calon imam harus mengasah kemampuan intelektualnya, pengolahan rasa, olah kehendak, olah seni, dan pengolahan hidup rohaninya agar mampu berpikir secara rasional. Penilaian tentu memiliki standar yang sudah ditentukan oleh setiap seminari tinggi, seperti Seminari Tinggi St. Petrus Paulus memiliki kriteria penilaian dengan IPK 3.0. Penilaian itu dipandang sebagai bentuk ukuran standar bahwa para formandi mampu menjalankan tugasnya secara akademik sesuai dengan tuntutan zaman.
Pada masa ini seorang calon imam menempuh pendidikan selama empat tahun sesuai dengan masa sarjana di perguruan tinggi. Tempat pembinaan pada masa ini umumnya sudah bergabung dengan para frater lainnya dengan berbagai tingkat yang ada di seminari tinggi bersama para formator. Tahap ini pula menekankan semangat pemuridan Kristus agar semakin menyerupai Kristus melalui pengajaran dan tindakan-Nya.
Tahun Orientasi Pastoral – Setelah menyelesaikan tugas akhir skripsi, seorang calon imam kini mulai menghadapi realitas di kehidupan sehari-hari dalam setiap kategorial yang ada di keuskupan. Tahap ini memiliki karakteristik pendidikan non-akademik sebagai kesempatan yang diberikan Seminari Tinggi bagi setiap calon imam untuk dapat menuangkan apa yang didapat dari bangku perkuliahan dan keterampilan pastoral yang dimilikinya.
Sebelum memasuki masa TOP para formandi harus melalui tahap penyelesaian tugas akhir S1, menerima pelantikan Lektor Akolit, dan mengikuti retret tahunan. Lalu masa TOP ini adalah masa bagi formandi untuk terlibat dan belajar dinamika kehidupan umat, baik di paroki maupun di tempat lain sesuai dengan kebutuhan.
Proses orientasi ini merupakan tindakan pengamatan sekaligus keterlibatan secara aktif dalam setiap karya pastoral yang ada. Pada masa ini umumnya para formandi tinggal bersama komunitas pastoran baik paroki maupun seminari agar tetap terjalin komunikasi dan kehidupan yang harmonis dan solid. Masa TOP ditempuh kurang lebih selama satu tahun. Selama satu tahun itu juga diadakan pertemuan selama tiga bulan sekali sebagai bagian dari evaluasi.
Tahap Konfigurasi – Setelah menyelesaikan masa TOP para formandi kembali melanjutkan masa pendidikannya ke tahap pascasarjana. Tahap ini formandi dibantu mencapai proses penyerupaannya dengan mempelajari dan merefleksikan ilmu-ilmu teologi. Dengan mempelajari dan merefleksikan ilmu-ilmu teologi para formandi diharapkan agar semakin matang dalam pembentukan diri dan penuh keteguhan terhadap komitmennya sebagai seorang imam.
Karakteristik siap sedia menjadi penekanan dalam mempersembahkan diri bagi Tuhan melalui karya dan pelayanan pastoral. Perlu juga semakin kuat dan kokoh dalam aspek spiritual dan fisik: antara hidup doa dan pemahaman teologis. Tahap ini ditempuh selama dua tahun akademik dengan menyelesaikan tugas akhir berupa penulisan tesis, yang harus diselesaikan dalam kurun waktu satu semester.
Tahun Pastoral – Tahun pastoral adalah masa persiapan menuju Tahbisan Diakonat, yang umumnya berlangsung selama enam bulan. Pada masa ini pendampingan secara khusus bagi seorang calon imam untuk menentukan pilihannya secara bebas dan bertanggung jawab sebagai seorang imam. Seorang formandi tidak lagi hanya berorientasi, tetapi harus mulai melibatkan diri sepenuhnya dan berpartisipasi aktif-inisiatif untu mengembangkan diri dan karya pastoral yang berguna bagi keuskupan.
Tahap pendampingan terhadap para formandi ada dalam kewenangan Kuria Keuskupan. Uskup Diosesan menunjuk Pastor Vikaris Jenderal untuk melakukan pendampingan secara intens. Selain itu pendampingan juga dilakukan oleh Pastor Paroki atau Pastor Kepala lembaga sebagai pendamping setempat bagi formandi dimanapun ia ditugaskan. Pendampingan juga dilaksanakan oleh Vikaris Judisial secara khusus mempersiapkan silabus yang berisi tugas dan wewenang calon imam dan mengajarkannya kepada formandi.
Pelajaran ini berlangsung delapan kali tatap muka dan diakhiri dengan ujian ad audiendas. Ujian ad audiendas diuji oleh Tim Penguji Keuskupan, yakni para imam keuskupan yang merupakan tes kelayakan seorang calon imam sebagai gembala yang bijak dalam melihat kasus pastoral yang ada, diantaranya adalah terkait dengan pengakuan dosa, kasus moral, dan kasus perkawinan. Setelah dinyatakan lulus maka calon perlu mengajukan surat permohonan untuk menerima Tahbisan Diakonat kepada Uskup Diosesan.
Tahun Diakonat – Tahun Diakonat cukup dikatakan sangat singkat, yakni sekurang-kurangnya enam bulan. Tahun Diakonat diawali dengan Tahbisan Diakonat yang otomatis masuk dalam kalangan kaum klerus keuskupan. Setelah enam bulan menjalani masa Diakonat dan melalui pertimbangan serta penilaian dari keuskupan maka ia diperkenankan untuk menerima Tahbisan Imamat. Sebelum menerima tahbisan imamat seorang diakon harus menjalani retret agung selama satu bulan.
(Sumber: Ratio Formationis Keuskupan Bogor. Tahun 2020, Sumber Foto: https://keuskupanbogor.org/tag/seminari-tinggi-santo-petrus-paulus/)