Kembali Sebagai Mahluk Reflektif

Kita adalah makhluk yang hidup di zaman modern. Pada zaman ini hampir semua rutinitas kita terkait dengan teknologi, terkhusus media sosial. Ketika kita bangun pagi, aktivitas pertama yang kita lakukan yakni melihat media sosial. Kita melihat berbagai aktivitas teman-teman, saudara-saudari, dan seseorang yang kita gemari. Dalam aktivitas itu kita juga melihat berbagai situasi yang sedang terjadi di masyarakat, seperti penyebaran covid-19 di lingkungan sekitar kita, agenda kegiatan RT (Rukun Tetangga), dan perbincangan tetangga di grup wa (what’s app).

Dalam aktivitas itu tak jarang kita temukan informasi-informasi yang membingungkan. Suatu hal dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda. Di satu sisi seorang atau kelompok tertentu mengatakan “a”, tapi seorang atau kelompok lain mengatakan “b, c, d”. Banyaknya pendapat mempengaruhi kita dalam membuat suatu keputusan. Dalam pikiran kita bertanya: di manakah informasi yang benar ? Siapakah yang mampu kita percayai ? Ketidaksanggupan kita untuk menemukan informasi yang benar membuat kita percaya pada informasi yang baru dan sering kita dapatkan. Dengan kata lain, kita percaya pada kepalsuan. Kita percaya pada hoax. Kita percaya pada informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya.

Foto : Komsos Paroki

Saudara-saudari terkasih, para hari ini kita merayakan Rabu Abu. Dalam perayaan tersebut terdapat salah satu frasa khas yakni “Hanya Debulah Aku”. Sebagai manusia, kita berasal dari debu dan akan  kembali kepada debu. Abu yang kita terima dan dioleskan di dahi menandakan bahwa kita sudah memasuki masa prapaskah (masa Tobat) yang akan kita jalani selama 40 hari. Abu juga sebagai tanda pertobatan kerapuhan kita yang sering jatuh ke dalam dosa. Sebagai orang kristiani, di masa ini, masa pertobatan, kita perlu kembali kepada Tuhan. Kita perlu memperbarui diri dengan beramal kepada orang-orang di sekitar kita, berdoa, berpuasa, dan berpantang.

Pada bacaan Injil hari ini, Yesus berpesan kepada kita agar melakukan hal-hal di atas secara tulus “Janganlah seperti orang munafik ….”. Kita melakukan berbagai hal tersebut bukan agar dipandang oleh masyarakat sebagai orang suci, kudus, melainkan agar kita mampu berperilaku lebih baik. Kita mampu mengurangi kelalaian, kecenderungan kita berbuat dosa. Kita mampu berfikir kritis terhadap informasi publik. Kita mampu sadar akan segala tingkah laku dan perkataan kita sehari-hari. Kita juga mampu membagikan hal-hal positif dalam diri kita kepada orang-orang disekitar kita.

(Artikel by : Frater Stanis dan Mery (Komsos))

Berita terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *